Aung San Suu Kyi

Simbol Perjuangan Rakyat Myanmar
Aung San Suu Kyi baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke- 58 dalam tahanan rezim militer Myanmar. Tidak diketahui oleh umum di mana perai nobel perdamaian (2001) itu ditahan. Namun demikian, hari ulang tahunnya dirayakan banyak orang, tidak hanya di negerinya, tetapi juga di banyak negara.

Pemimpin Partai Liga Nasional Demokratik itu ditahan setelah rezim militer menyerang para pendukungnya pada 30 Mei 2003 lalu. Para saksi mata yakin bentrokan itu direncanakan rezim militer untuk menyerang Suu Kyi dan para pendukungnya. Sepuluh orang meninggal dan luka-luka, beberapa ditangkap, dan sebagian lainnya masih dalam persembunyian. Selain itu, rezim militer juga telah menutup kantor Partai Liga Nasional Demokratik dan menahan para pemimpin dan pendukung partai tersebut di Yangon dan kota-kota lainnya.

Bukan kali ini saja Suu Kyi ditahan. Sejak partainya memenangkan pemilihan umum pada 1990 lalu, pemerintahan militer setempat telah menahan dan mengintimidasi Suu Kyi dan pendukungnya secara terus-menerus. Dia sungguh telah mengalami penderitaan, mulai dari penahanan rumah dan penjara hingga ratusan pendukungnya ditahan, yang sebagian besar tidak melalui proses pengadilan.

Sebagian lagi diintimidasi dan dipaksa mengundurkan diri dari politik. Media milik pemerintah setempat pun selalu menerbitkan propaganda kejam mengenai Suu Kyi. Namun, masyarakat tetap mencintainya. Ribuan masyarakat biasa selalu berbondong-bondong hanya untuk melihat dan mendengarkan Suu Kyi. Bagi rakyat Myanmar, ia adalah pahlawan yang menghidupkan pengharapan menuju masa depan yang lebih baik.

Daw Aung San Suu Kyi, lahir pada tanggal 19 Juni 1945 di kota Rangoon, Myanmar. Ia adalah putri dari Jenderal Aung San dan Daw Khin Kyi. Ayahnya seorang pemimpin nasional Myanmar (Burma) yang dibunuh pada tanggal 17 Juli 1947. Kematian ayahnya telah menjadi simbol perjuangannya untuk perdamaian dan kemerdekaan bangsa Burma.

Aung San Suu Kyi dididik di kota Rangoon sampai ia berusia 15 tahun. Pada tahun 1960, ibunya ditunjuk oleh pemerintah Burma menjadi duta besar untuk India dan Nepal. Ia ikut menyertai ibunya ke Delhi dan kuliah di Fakultas Ilmu Politik Universitas Delhi.
Sejak 1964 hingga 1967, Aung San Suu Kyi melanjutkan pendidikan di St. Hugh’s College dan di Oxford University, Inggris. Di dua lembaga perguruan tinggi tersebut ia memperoleh kesarjanaan di bidang ekonomi, politik dan filsafat. Universitas ini pula yang menganugerahkan padanya doktor honorary pada tahun 1990. Sempat dalam beberapa tahun ia bekerja di luar negeri, termasuk sebagai utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Pada tahun 1972, ia bertemu dengan seorang pria terdidik keturunan Tibet-Inggris bernama Dr. Michael Aris, dan mereka memutuskan untuk menikah. Pada tahun 1973, Suu Kyi melahirkan anak pertamanya, Alexander di kota London. Kemudian di tahun 1977, ketika ia tinggal di Oxford ia melahirkan anaknya yang kedua dan diberi nama Kim.

Setelah tinggal cukup lama di Oxford, Aung San Suu Kyi kembali ke negerinya, Burma untuk merawat ibunya yang jatuh sakit. Selama di Burma ia bergabung dengan gerakan pendukung-demokrasi atau Liga Nasional untuk Demokrasi (The National League for Democracy-NLD). NLD menuntut adanya reformasi politik di Burma.

Sampai kemudian, Suu Kyi menjadi pemimpin gerakan tersebut dan secara terang-terangan mengkritik keras para pimpinan militer Myanmar. Pamor ayahnya, juga menjadikan Suu Kyi sebagai simbol keinginan rakyat merindukan kebebasan politik, dan menciptakan sikap masyarakat menentang kepemimpinan diktator rezim militer.

Saat itu, Aung San Suu Kyi berkunjung ke berbagai pelosok wilayah Myanmar. Ia berbicara di depan ratusan, bahkan puluhan ribu massa, berusaha untuk menyatukan rakyat serta membakar semangat mereka dalam perjuangan panjang-menuju kemerdekaan. Sun Kyi sangat dicintai oleh masyarakat Burma, terutama di masa-masa kegelapan negerinya. Ia dengan berani menantang keputusan militer yang melarang rakyat berkumpul lebih dari empat orang. Bahkan rakyat justru berkumpul dalam jumlah massa untuk mendengarkan Aung San Suu Kyi di manapun ia berbicara. Setelah Aung San Suu Kyi mendapat sambutan yang besar dari rakyat dan menjadi populer, penganiayaan terhadap setiap kampanyenya oleh pihak militer semakin meningkat. Untuk pertama kali pada bulan Juli 1989 ia ditahan dalam tahanan rumah.

Pada tahun 1990 Myanmar mengadakan pemilihan umum federal. Hukum Negara Militer dan Dewan Orde Pemulihan (the military State Law and Order Restoration Council-SLORC) mengizinkan pemilihan umum multipartai. NLD (Partai Nasional Demokratik) yang diketuai Suu Kyi memenangkan pemilihan anggota parlemen dengan suara mutlak. Namun SLORC menolak mengakui hasil pemilihan umum tersebut. Bahkan melanjutkan masa tahanan rumah Suu Kyi. Ia terpaksa menghabiskan waktu 6 tahun hidupnya tinggal di villanya di Ranggon sebagai tahanan rumah.

Di masa-masa itu ia banyak menulis pidato dan menerbitkan banyak buku. Selama masa penahanan itu, ia banyak menerima penghargaan atas usaha dan perannya mencipatkan perdamaian. Pada saat dalam status tahanan itu pula ia dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian pada tanggal 14 Oktober 1991. Dengan hadiah uang yang diterimanya sebesar 1,3 Juta dollar, ia mendirikan sebuah yayasan kesehatan dan pendidikan untuk masyarakat Burma. Selain penghargaan Nobel, ia juga menerima sejumlah penghargaan serta kehormatan lain, salah satu yang juga perlu dicatat adalah penghargaan Hak Azasi Manusia Rafto dan penghargaan Sakhorov.

0 komentar:

Posting Komentar